Dimanakah Kiblat-Mu?
Karya :ARINA ZAIDA ILMA
Saifulloh.
Kalian mengenalku? Tidak. Jarang ada orang yang mengenal diriku. Aku seorang
pengembara yang berjalan di atas jembatan waktu, menuju muara kehidupan. Tak
punya rumah dan keluarga adalah kehidupanku. Sebab keluargaku telah tiada pasca
gempa bumi satu tahun silam. Aku merupakan orang yang satu-satunya selamat.
Kini aku mengembara seorang diri patutnya seorang musafir. Meski demikian aku
selalu bertasbih dan bersyukur pada-Nya, karena masih diberi kesempatan untuk
hidup. Sambil mengembara akupun menyampaikan seuntai ceramah mengenai Agama
Islam. Tak putus asa, semangatku tak pernah pudar.
Dengan bermodalkan ketegaran hati,
aku bisa dikatakan sosok yang tabah dan religius. Umurku baru 25 tahun. Cobaan
demi cobaan aku hadapi dengan tegar, untuk memuai titik damai. Kesedihan aku
rasakan sendiri, karena memang jauh tak
ada keluargaku yang masih hidup. Aku yang berasal dari Aceh dan kini mengembara
entah kemana.
Awal cerita,
ketika itu adzan ‘Asar berkumandang. Aku berhenti di masjid besar untuk sholat.
Selesai sholat, kakek-kakek tua menghampiriku dan bertanya padaku. Kek Udin
namanya.
“Le arep
menyang ngendi sampeyan iki?” tanya Kek Udin padaku. “Nggih mbah, niki kulo
nggih mboten ngertos?” jawabanku santun dan lugas. Aku dan Kek Udin
bercakap-cakap sambil duduk di teras masjid besar.
“Owalah Le,
Melu si mbah wae neng umahe mbah? Mbah ora ono sing ngancani.” Tawaran Kek
Udin. “Mmm.. saestu mbah? Kulo purun sanget. Maturnuwun mbah.” Iful menerima tawaran
Kek Udin dan beranjak bangkit dari teras menuju rumah Kek Udin.
Desa itu
memang terkenal dengan agama Islamnya yang tebal. Hampir seluruh warganya
beragama Islam dan menutup aurat. Tiba di rumah Kek Udin, aku membereskan
barang-barang dan memasukannya ke lemari pakaian. Tak lama, Kek Udin mengajakku
berjalan-jalan mengelilingi pelosok desa.
“Sugeng
sonten, Kyai?” sapaku pada Kyai Abu seorang Kyai yang terkenal di desa itu.
“Sonten Le. Sampeyan iki sopo?” tanya Kyai Abu penasaran. “Kulo musafir Kyai.
Kulo sak niki nglenggahi dalemipun Mbah Udin.” Jawabku dengan senang hati .”
Oh. Kaya ngono ta. Sampeyan arep podho melu pengajian opo ora? Mbah, Le?” tanya
Kyai Abu padaku dan Kek Udin. “Saestu Kyai? Kulo kalih si mbah purun.
Maturnuwun.” Aku dan Kek Udin menyetujuinya.
Berangkatlah
kami menuju masjid besar untuk mengikuti pengajian. Pengajian
ini sangat mendebarkan, apalagi saat itu aku anak baru yang mengikuti pengajian
tersebut. Ayat demi ayat di sampaikan oleh Kyai Abu. Tak lama, aku merasakan keanehan
dengan masjid besar itu. “Tetapi apa?” batinku. Sambil berpikir apa yang
menjadi kejanggalan pada masjid itu, tiba-tiba Kek Udin mengajakku keluar dan
pulang.
Hari
berikutnya,
Ketika
adzan Shubuh, aku dan Kek Udin berangkat ke masjid besar untuk sholat
berjamaah. Dari jalan setapak, akau kembali memikirkan apa yang menjadi
kejanggalan masjid itu. Ku pandangi masjid itu. Ternyata, tak disangka-sangka
olehku bahwa masjid besar selama ini tak mengarah ke kiblat Masjidil Haram.
Kagetku bukan kepalang. Aku pun menanyakannya kepadaKek Udin tentang hal itu.
“Mbah,
kiblatipun masjid gedhe iku menopo? Arahipun teng pundi?” tanyaku penasaran
akan jawaban Kek Udin. “Lah kae. Sampeyan ngerti lan weruh dhewek mbok nak? Ono
opo ta?” Kek Udin heran dengan pertanyaanku itu. “Mboten menopo-menopo mbah.”
Akupun masih menyembunyikan hal itu sampai ada bukti akurat bahwa kiblat masjid
besar bukanlah Mekah.
Aku
kembali ke rumah untuk mencarai kebenarannya. Aku sibuk mencari peta dan
kompas. Aku pun berusaha agar hal itu bisa terungkap.
Dua
hari kemudian,
Aku
kembali bertanya-tanya mencari berita pada warga tentang masjid besar di desa
tersebut. Ternyata setelah beberapa orang yang ku tanyai, akupun berhasil
mendapat informasi bahwa masjid besar di bangun dengan disesuaikan arah jalan.
Kata warga tersebut alasannya supaya enak dipandang dan strategis. Aku kaget
dan hatiku tersentuh akan hal itu. Aku ingin segera mengungkap kebenarannya
kepada seluruh warga desa.
Aku
pun meminta Kek Udin agar bisa mengumpulkan warga desa serta Kyai Abu di masjid
besar untuk memperjelas kondisi tersebut.
“Para
sesepuh ingkang kulo hormati, kulo nyuwun panjenengan makempal ing mesjid
meniko, supados kita sedaya saged mbuktikaken kebeneran kiblat masjid gedhe
meniko. Kulo badhe nyampekaken kejanggalan wonten diri kulo yaiku amarga arah
mesjid gedhe kang salah.” Jelasku para warga.
“Le,
kita sedaya durung saged percaya kalih sampeyan. Opo buktine le?” tegas Kyai
Abu sedikit marah.
“Niki
buktinipun. Mekah niku letakipun wonten barat lautipun Pulau Jawa. Dados nek
kita nglencengake kiblatipun masjid gedhe, arahipun dados nuju teng Australia.
“ penjelasanku yang singkat, padat dan berani.
“Tapi,
Gusti Alloh kuwi Maha Ngerti. Jalaran kiblat ora dadi masalah. Neng ngendi bae
papane lan arahe mesti Gusti Alloh ngerti ibadahipun kita sedaya.” Kyai Abu
naik pitam berusaha mempertahankan pendapatnya.
“Mboten
saged kaya niku Pak. Selagi kita ngertos arahi pun kiblat ingkang leres, lewih
afdol ibadahi pun kita sedaya lan akeh pahalanipun,” tegasku membenarkan
perkataan Kyai Abu.
Serempak
warga desa menjawabnya, setelah beberapa saat suasana berisik. “SETUJU FUL!”
kata warga mendukungku. “Alhamdulillah,”
perasaanku lega dan gembira mendengar persetujuan warga desa.
“
Tapi le, kepripun carane? Nopo masjid gedhe kudu di bonkar?” tanya seorang
warga bingung.
“Mm..
ngenten niki pak. Kita mboten usah
mbongkar masjid gedhe, amargi kita supados nyerongaken arahipun kiblat masjid
gedhe meniko.” Jawabku tepat. “Owalah, ngono ta le? Yo kita manut wae.” Jawab
bapak tersebut dengan senang.
Akhirnya
arah masjid besar diubah ke arah Masjidil Haram (Mekah), dengan cara
menyerongkan arah kiblat masjid semula beberapa derajat ke arah Mekah. Aku pun
kini disegani para warga desa tersebut kerena kebijaksanaanku menyelesaikan dan
memecahkan masalah. Seperti pepatah mengatakan “Selagi Kita Tahu Arah Kiblat
Yang Benar. Ibadahlah kalian ke kiblat-Nya”
BIODATA
PENGARANG
1. Nama
lengkap : ARINA ZAIDA
ILMA
2. Nama
Panggilan : ARINA
3. Tempat/tgl
lahir : KLATEN, 24
FEBRUARI 1998
4. Jenis
Kelamin : PEREMPUAN
5. Alamat : TRITIH RT 01 RW
05, DANASRI LOR,
NUSAWUNGU, CILACAP
6. Pekerjaan : PELAJAR
7. Nomor
HP : 085 842 947
029
8. Hobby : MENULIS,
MEMBACA, BEREKSPERIMEN
9. Cita-cita : PROFESSOR &
PENGARANG
Arina