“KASIH IBU TERANGI MATA HATI DAN
JALAN HIDUPKU”
Ibu
merupakan sosok wanita mulia. Melahirkan, menjaga dan merawat kita hingga kini.
Sangat berdosa sekali jika kita menyakiti hati ibu kita sendiri. Jangan
sia-siakan kesempatanmu selagi Ibumu masih ada. Sebuah pepatah mengatakan
“Surga ditelapak kaki Ibu” artinya bahwa kita sebagai anak, tidak boleh berbuat
jahat kepada ibu apalagi sampai durhaka kepadanya. Seperti cerita yang akan
saya buat ini bahwa kasih ibu telah membuka mata hati dan terangi jalan hidup
anaknya tersebut.
Melati
seorang anak desa dari kalangan keluarga biasa yang hanya tinggal bersama ibu
kandungnya. Dia berkeinginan melanjutkan study setelah lulus SMA. Dengan
belajar keras diiringi do’a akhirny Melati diterima di salah satu perguruan tinggi
di Yogyakarta. Sebenarnya ibu Melati keberatan melepas anak tunggalnya karena merasa
khawatir jika terjadi sesuatu pada diri Melati.
Semenjak
kuliah di Yogya, si ibu tinggal sebatang kara. Suaminya sudah tiada sejak Melati
dalam kandungan. Ibu Melati bekerja sebagai penjual mendoan. Si ibu banting
tulang kesana kemari untuk anaknya. Tetapi untuk biaya kuliah Melati, uang itu
tidak cukup. Namun, karena Melati anak cerdas dia pun mendapat beasiswa untuk
kuliah.
“Bu,
aku berangkat dulu. Aku janji akan sering menghubungi ibu. Aku sayang Ibu,”
kata Melati sebelum berangkat. “Iya nak, hati-hati di sana jaga kesehatan dan
belajar yang pintar. Sering-seringlah menghubungi Ibu, nak. Ibu pun sayang
Melati,” tutur ibunya sambil meneteskan air mata.
Di
Yogya Melati tinggal disebuah kost-kostan putri yang jaraknya tidak jauh dari
kampus. Melati sering mengirim surat pada ibunya untuk memberi kabar mengenai keadaannya
dan menceritakan bahwa Melati juga mendapat teman yang sangat baik yaitu Mawar.
Mawar anak Jakarta, atau bisa dibilang sebagai “anak gaul”. Semakin hari Melati
dan Mawar pun semakin dekat.
Pertemanan
mereka sangat akrab, dimana ada Mawar di situ ada Melati. Begitu pun
sebaliknya. Suatu ketika, Melati melihat Mawar merokok. Melati kaget melihat Mawar
seperti itu karena Melati berasal dari desa. Baginya seorang cewek merokok adalah
hal yang sangat tidak baik.
“Mawar
!!!” sentak Melati. Tetapi Mawar menganggapnya biasa saja tidak ada yang aneh,
dia justru menawari Melati untuk mencoba rokok seperti dirinya. “Cobalah ini,” kata Mawar. “TIDAK!!!” Melati
menolaknya.
Tadinya
Melati tidak mau mencoba. Karena Melati anak desa yang masih sangat polos
akhirnya terpengaruh juga. Dari sinilah semuanya terjadi. Melati yang tadinya
hanya merokok kini mulai mencoba untuk pergi ke clubbing bersama Mawar. Mereka
pergi hampir tiap malam dan pulang baru pagi harinya. Tak hanya itu, Melati
juga mulai menggunakan narkoba. Dia diajari oleh siapa lagi kalau bukan Mawar
sahabatnya sendiri orang yang paling dekat dengan dia.
Melati
semakin jarang menulis surat pada ibunya sendiri. Dia lebih memilih pergi
bersenang-senang dengan teman-temanya dari pada harus menulis sepucuk surat untuk
ibunya. Waktu terus berjalan hingga Melati menjadi seorang pecandu narkoba. Suatu
hari, saat Melati dan Mawar sedang clubbing ada sebuah razia yang dilakukan
oleh polisi di club tersebut. Melati tertangkap polisi karena membawa narkoba.
sedangkan Mawar sahabatnya lolos dari kejaran polisi. Melati dipenjara dan
mengabari ibunya bahwa dirinya ditahan karena membawa narkoba. Ibunya kaget dan
sangat sedih sekali. Si ibu langsung pergi ke Yogya untuk melihat keadaan anak
perempuan satu-satunya itu. Dia tidak mempunyai saudara satupun di Yogya,
sehingga dia harus mengontrak rumah sebagai tempat tinggalnya
Tiap
hari ibunya menjenguk Melati di penjara dengan kasih sayang ibu kepada anaknya.
Dia tidak memarahi Melati atas apa yang menimpa Melati, meskipun demikian dia
menyalahi dirinya sendiri bahwa dia tidak mendidik Melati dengan benar sehingga
menjadi seperti sekarang ini. Berita Melati di penjara karena narkoba menyebar
di daerah rumah mereka. Tetapi ia tak menghiraukannya.
Selama
Melati dipenjara, ibunya tidak pulang ke desa melainkan menemani Melati hingga
bebas dari hukuman. Akhirnya, Melati dapat bebas dari penjara. Dia kembali
bersama si ibu di desa. Di desa, mereka mendapat berbagai gunjingan dari para
tetangga mengenai Melati. Tetapi ibunya tetap membela Melati sebagai anaknya.
Dan tidak malu atas apa yang menimpa anaknya, juga tidak peduli dengan omongan
orang di desa atas kenakalan Melati.
Seiring
berjalannya waktu, Melati sudah kembali normal. Dia tidak menjadi pecandu narkoba
lagi. Karena ibunya membawa Melati ke panti rehabilitasi. Tetapi memang
pergaulan yang membuat Melati seperti kemarin.
Suatu
hari, lagi-lagi Melati mengulangi kesalahannya. Kali ini dia hamil diluar nikah
oleh seorang cowok teman kampusnya, Bagas. Parahnya Bagas tidak mau bertanggung
jawab atas apa yang telah dilakukannya.
Mendengar
berita tersebut, ibunya sangat kaget sekali dan benar-benar sedih anak
satu-satunya yang dia banggakan yang bisa mengangkat derajat keluarga di mata
orang lain kini telah menghancurkan harapan ibunya dengan adanya musibah
tersebut. “Duh Gusti, cobaan apa lagi yang Engkau berikan pada anak semata
wayangku? “ rintih ibunya dengan mata berkaca-kaca.
Melati
pulang ke desa dengan keadaan hamil. Dia menjadi buah bibir orang lain dan
tetangganya sendiri. Yang paling terpukul adalah ibunya dianggap tidak bisa
mendidik Melati dengan benar. Tetapi ibu Melati tidak memperdulikan omongan
orang. Dia terus merangkul Melati sebagai anak yang dia kandung selama 9 bulan
10 hari dan juga dia besarkan. Biarpun sakit, dia telah memaafkan Melati atas
apa yang telah diperbuat. Dia sangat sabar meghadapi omongan orang dan
mengganggap apa yang terjadi sebagai kesalahannya dan juga sebagai musibah.
Karena di desa berlaku hukum pancung bagi anak
perempuan yang hamil di luar nikah. Melati dijatuhi hukuman pancung. Pengumuman
itu diumumkan ke seluruh desa, hukuman akan dilakukan keesokan hari di depan warga
desa dan tepat pada saat lonceng berdentang. Pukul enam pagi, berita hukuman
itu sampai ke telinga si Ibu. Dia menangis meratapi anak yang dikasihinya dan
berdoa berlutut kepada Tuhan.
"Gusti ampuni anak hamba, biarlah hamba
yang sudah tua ini yang menanggung dosanya.” Dengan tertatih tatih
mendatangi Kepala Desa dan memohon
supaya anaknya dibebaskan. Tapi keputusan sudah bulat, anaknya harus menjalani
hukuman. Dengan hati hancur, ibunya kembali ke rumah. Tak hentinya dia berdoa
supaya anaknya diampuni, dan akhirnya dia tertidur karena kelelahan. Dalam
mimpinya dia bertemu dengan Tuhan.
Keesokan
harinya, ditempat yang sudah ditentukan warga berbondong-bondong manyaksikan
hukuman tersebut. Sang algojo sudah siap dengan pancungnya dan Melati sudah
pasrah dengan nasibnya. Terbayang di matanya wajah ibunya yang sudah tua, dan
tanpa terasa ia menangis menyesali perbuatannya.
Detik-detik
yang dinantikan akhirnya tiba.
Lima...
Empat... Tiga... Dua... Satu...
Sampai
waktu yang ditentukan tiba, lonceng belum juga berdentang. Sudah lewat lima
menit dan suasana mulai berisik, akhirnya petugas yang bertugas membunyikan
lonceng datang. Ia mengaku heran karena sudah sejak tadi dia menarik tali
lonceng tapi suara dentangnya tidak ada.
Saat
mereka semua sedang bingung, tiba-tiba dari tali lonceng itu mengalir darah.
Darah itu berasal dari atas tempat di mana lonceng itu diikat. Dengan jantung
berdebar-debar seluruh warga menantikan, ketika beberapa orang naik ke atas
menyelidiki sumber darah.
Tahukah
apa yang terjadi? Ternyata di dalam lonceng ditemui tubuh si ibu tua dengan
kepala hancur berlumuran darah. Dia memeluk bandul di dalam lonceng yang
menyebabkan lonceng tidak berbunyi, dan sebagai gantinya kepalanya yang
terbentur di dinding lonceng. Seluruh orang yang menyaksikan kejadian itu
tertunduk dan meneteskan air mata. Sementara Melati meraung raung memeluk tubuh
ibunya yang sudah diturunkan. Menyesali dirinya yang selalu menyusahkan ibunya.
“IBU
IBU IBU!!! Bangun!!! Maafkan Melati Bu !
Bangun Bu! Melati sudah menyusahkan Ibu terus. Maafkan Melati Bu...!!!
IBU!!! ” jerit Melati sambil menangis. Ternyata malam sebelumnya si ibu dengan
susah payah memanjat ke atas dan mengikat dirinya di lonceng. Memeluk besi
dalam lonceng untuk menghindari hukuman pancung anaknya.
Satu
tahun kemudian,
Peristiwa
tahun lalu telah menjadi penentu jalan hidupnya. Mata hatinya mulai terbuka. Melati
kini hidup bersama anaknya. Terkucilkan karena perbuatannya. Semakin hari,
Melati semakin berubah. Ia rajin sembahyang, mengaji dan hidup seperti orang
normal lainnya bersama anaknya. Ia harus menghidupi anaknya tersebut sendirian.
Ia pun rajin berdo’a kepada Tuhan.
Wajah tua si ibu melintas dalam benaknya.
Wajah keriput itu telah gugur meninggalkan Melati di dunia ini. Matanya mengalirkan
air mata yang tak bisa ku tahan lagi. “Tuhan,
peristiwa satu tahun silam menjadi peristiwa yang tak akan pernah terlupakan.
Peristiwa itu akan terus termemori dalam benakku. Maafkan segala dosa hambamu
ini, Tuhan. Terimalah Ibuku di sisi-Mu. Tempatkanlah beliau di surga-Mu.
Rabbana atina fiddunyaa hasanah wa fill aa khiroti hasanah wa qinaa adza
bannar... Amin”.
Demikianlah
sangat jelas kasih seorang ibu untuk anaknya. Betapa jahat si anak, ia tetap mengasihi sepenuh hidupnya. Marilah kita
mengasihi orang tua kita masing masing selagi kita masih mampu. karena mereka
adalah sumber kasih Tuhan bagi kita di dunia ini.
Mohon
maaf atas kekurangan dalam berbahasa, penerapan cerita dan lain-lainya, karena
memang saya masih dalam proses pembelajaran. Semoga sepenggal kisah ini
menjadikan terlahirnya sebuah inspirasi untuk kita sebagai anak yang terlahir,
dan berhutang budi sangat besar pada sosok seorang ibu. Semoga Tuhan senantiasa
memberi jalan dan kemudahan-kemudahan dalam hal apapun. Amin.
BIODATA
PENGARANG
1. Nama
lengkap : ARINA ZAIDA
ILMA
2. Nama
Panggilan : ARINA
3. Tempat/tgl
lahir : KLATEN, 24 FEBRUARI
1998
4. Jenis
Kelamin : PEREMPUAN
5. Alamat : TRITIH RT 01 RW
05, DANASRI LOR,
NUSAWUNGU, CILACAP
6. Pekerjaan : PELAJAR
7. Nomor
HP : 085 842 947
029
8. Hobby : MENULIS,
MEMBACA, BEREKSPERIMEN
9. Cita-cita : PROFESSOR &
PENGARANG