*Cerpen *
DENDA MARAH
By: Arina Zaida Ilma
Prolog
“Hendaklah
engkau jujur meski hal tersebut merugikanmu, namun kejujuran sangat bermanfaat
bagimu. Dan jauhilah kebohongan meski ia menguntungkanmu, namun sejatinya
kebohongan merugikanmu.”
(Asy-Sya’bi )
DENDA MARAH
“Brukkk!!!”
suara lemparan buku memekik telinga di pagi hari. Rupanya Lea sedang
mengobrak-abrik tasnya mencari uang
dalam bukunya.
“Kamu
ya yang mengambil uang dalam bukuku?!,” tanya Lea dengan suara keras pada Lena,
adiknya. Lena langsung menolak tuduhan kakaknya itu
“Siapa
bilang, Kak? Jangan asal tuduh?!,” suara Lena tak kalah keras. Lena pun masuk
ke kamar, hatinya dongkol karena dituduh kakaknya. Padahal bukan dia yang mengambil
uang kakaknya itu.
Baru
saja pertengkaran kedua kakak beradik perempuan itu reda, di samping rumah
terdengar teeriakan Leto dan Leo sedang bertengkar.
“Leo
dimarahi kakak, Bu!,” kata Leo sembari terisak-isak. Ia mengadu pada ibunya
yang sedang memasak.
“Aduh,”
sungut ibu. “ Kalian memang tidak pernah
akur, bagaikan Tom & Jerry.”
“Leo
nakal, Bu?! Ia menarik celanaku,” Leto meyusul ke dapur seraya ingin mengadu
juga.
“Tapi...
tapi aku tidak sengaja bu,” kata Leo tak mau mengaku.
“Sudah-sudah.
Lebih baik kalian mandi sana! Sebelum ayah kalian pulang?!,” ibu mengingatkan
mereka. Biasanya ayah pulang ketika mereka belum mandu dan ayah menjewernya.
“Bu,
ayah pulang...,” kata ayah sambil membuka pintu. Tapi tak ada yang menyahutnya.
Ayah heran dan langsung ke kamar.
“Ibu
sakit ya?,” tanya ayah begitu masuk melihat kepala ibu ditutupi bantal.
“Eh,
ayah sudah pulang. Ibu tidak pusing kok, cuma agak pening dengan anak-anak kita
yang tak bisa akur. Tiap hari berantem melulu,” ibu menceritakan semua kejadian
di rumah pada ayah.
Ayah terdiam mendengar pengaduan itu. Mukanya
masam. Memang di rumah itu semua gampang naik daraj karena hal kecil sekalipun.
Sambil
termenung, ayah menemukan ide.
“Sepertinya
ayah harus membuat peraturan baru,” kata ayah pada ibu.
“Ide
bagus, Yah.”
* * *
Malam
hari setelah semua selesai makan, ayah mengumpulkan mereka (termasuk Bi Sambi
pun ikut) untuk mengumumkan peraturan
baru yang ayah buat.
“Peraturan
apa yang ayah buat lagi?!,” kata Lea memberanikan diri.
“Ya,
peraturan bersama,” kata ayah sambil mengambil secangkir kopi.
“Katakan
saja, Yah?! Semua harus patuh pada peraturan baru ini, termasuk Bi Sambi yang
hanya pembantu,” ibu yang tadinya diam ikut bicara.
“Baiklah,
begini,” kata ayah basa-basi. : Mulai sekarang, siapa saja yang marah harus
membayar denda Rp500,- sekali marah!,” ayah tersenyum ssinis tapi tetap serius.
Ayah
melangkahkan kakinya menuju kamar dan kembali dengan sebuah celengan kaleng.
Celengan tersebut tadinya untuk tabungan keluarga.
“Celengan
ini akan diletakkan di atas TV,” kata ayah menuju TV.
“Siapa
saja yang marah, wajib membayar denda,” lagak ayah seperti polisi.
Langsung
saja semua anak ingin berkomentar.
“Wah,
habis donk uang jajanku?,” rengek si Leto.
“Ya,
makanya jangan lekas marah!,” ujar Lea.
“
Betul-betul-betul,” kata Lena meniru Upin Ipin.
“Kalian
SETUJU?!,” tanya ayah.
“SETUJU!!!,”
jawab mereka hampir bersamaaan.
“Baiklah,
peraturan ini akan berlaku besok pukul enam pagi. Jangan ada yang protes ataupun lupa?!,” tegas ayah
kemudian meletakkan celengan itu diatas TV.
* * *
“Mana
sepatuku, Bi! Aku mau berangkat sekolah,” teriak Leto pada Bi Sambi seperti
bisanya.
“Leto!
Pagi-pagi sudah marah-marah,” ibu menegur anaklelakinya itu.
“Denda
bu??!!,” teriak Lena dari kamar mandi.
Ini
kejadian yang pertama kalinya melanggar peraturan baru yang ayah buat. Ayah pun
yang baru keluar dari kamar ikut menyaksikan. Tak terkecuali Bi Sambi juga ikut
melihat di berlakukannya peraturan itu.
“Klonteng..
klongteng.. klongteng..ng..ng..ng !!!,” buyi uang Rp500,- yang Leto masukandalam
celengan. Dengan senyum masam, ia melakukannya. Karena celengan itu masih
kosong, jadi celengan itu berbunyi.
“Makanya,
sudah ku bilang tahan emosimu,” komentar Lea dengan lagaknya.
“Ya,
nanti juga giliran kakak!!,” sahut Leto menjulurkan lidahnya pada kakaknya Lea.
* * *
Sore
hari, di meja makan yah mendapat pengakuan dari anak-anaknya. Berapa kali
mereka memasukkan uang ke celangan.
Satu
persatu anak pun mengakuinya.
“Aku
Rp1000,- Yah,” Lena mengaku.
“Aku
Cuma Rp500,- ,” tambah Leo yang masih duduk di kelas 1 SD.
“Mmm...
kalo aku sich Cuma Rp1500,- ... hehe,” sahut Leto meringis.
Satu
anak tidak mengaku, yaitu Lea. Tapi, ibu membeberkan semuanya.
“Ngomong-ngomong
Lea paling banyak membayar denda nich...???”
“Berapa
kali?!!!,” desak si Leto penasaran.
“Rahasia
perusahaan donk!!! ,” kata Lea merengut.
“Oke-oke.
Yang penting kalian semua sudah mau membayar denda dengan jujur. Tidak usah
bertengkat lagi?!,” penjelasan ayah.
“Iya,
Yah. Jujur!” anak-anak menjawabnya bersamaan.
“Ya,
itu pelajaran paling penting. Soal denda itu pelajaran kedua. Semua harus bisa
menahan marah, tapi jujurpun lebih penting. Jika kita jujur pada diri sendiri,
niscaya kita akan terlatih jujur pada orang lain.”
# So, rumah tangga yang kurang ilmu adalah
rumah tangga yang hanya akrab dengan sikap emosi dan jauh dari kearifan. Maka janganlah hiasi hidupmu dengan kemarahan.
Jadikanlah setiap kritik bahkan penghinaan yang kita terima sebagai jalan untuk
memperbaiki diri.