"DI MATAMU ADA PELANGI "
By : Arina Zaida Ilma
Tetesan air hujan menetes, merembes ke dinding kamarku. Menatap langit
yang mendung diselimuti awan hitam tebal nan kusam, sama dengan
perasaanku kini. Tak ada senyuman, canda, tawa, bahagia yang bisa
dirasakan seperti alam yang membisu, dan menangis. Aku pun ikut menangis
dengannya. Ku tunggu hingga hujan reda sampai aku tak sadarkan diri
karena terlelap oleh dinginnya malam yang sunyi.
***
Malam tlah lenyap dari pandangan, pagi pun ramah menyapa.
Membangunkanku untuk segera berangkat ke sekolah. Aku berjalan menuju
lorong kelas. Ku lalui koridor-koridor kelas untuk sampai di kelasku.
Berjalan sendiri, kesepian layaknya seorang yang terasingkan. Aku
terkenal pendiam dan tak mudah bergaul dengan sembarang teman. Aku lebih
suka membaca buku-buku pelajaran di kelas sendiri daripada mengikuti
teman-teman berfoya-foya di luar sana. Aku sangat sensitive dengan
hal-hal yang membuatku marah.
Sampai di depan kelas, Felly
menyapaku dengan suara merdunya. Felly adalah teman sebangkuku. Dari SD
kami selalu bersama dan SMP pun demikian. Meskipun kami bukan saudara,
tapi kami tak bisa dipisahkan.
“Syifa, selamat pagi,” sapanya padaku.
“Pagi Fel,” sahutku membalas senyum manisnya.
***
Siang itu, pelajaran Matematika. Bu Lena adalah salah satu guru Matematika di sekolahku.
“Anak-anak,
perkenalkan ini Graha siswa baru di SMP kita. Dia pindahan dari
Denpasar. Kebetulan ayahnya tugas di Jakarta. Jadi ia dipindahkan ke
sini, “ penjelasan Bu Lena bahwa ada murid baru dari Denpasar.
Graha.
Lebih tepatnya Graha Sanjaya. Nama yang cukup indah. Anak baru itu
lumayan cakep untuk selera para cewek di SMP ku. Dan ia dikenal cukup
pandai. Wow, dia pesaingku nantinya.
Bu Lena menyuruh Graha duduk denganku, dan menyuruh Felly untuk pindah.
“Apa yang dilakukan Bu Lena? Mengapa Graha disuruh duduk denganku?,” gumamku bingung dengan sikap Bu Lena yang aneh.
Aku pun duduk dengannya. Ia cukup ramah. Aku dan ia saling berkenalan satu sama lain.
“Hai, namaku Graha. Nama mu siapa?,” tanyanya padaku.
“Aku Syifa,” jawabku gugup.
“Senang berkenalan denganmu,” kata Graha tersenyum.
***
Seminggu berlalu, tampaknya Graha bingung dengan sikapku yang senang
menyendiri dan lebih suka membaca buku di perpustakaan. Graha heran dan
penasaran denganku. Ia mencoba untuk menyelidikinya.
“Syifa, sendirian nih? Mau aku temenin?,” tawarnya dengan malu-malu.
“Ia. Boleh, silahkan?!,” sahutku lirih.
“Syifa
kok kamu gak gabung sama temen-temenmu? Malah kamu asik mbaca di
perpustakaan sendiri?,” tanya Graha untuk mengorek informasi tentangku.
“Aku lebih suka mbaca buku Ha. Emank kenapa? Gk boleh?,” tanyaku balik pada Graha.
“Bukan begitu maksudku.. Mmmm ___ .” Graha terdiam lalu menatap mataku.
Lima detik ia terus menatapku. Aku pun tergiur oleh tatapan manisnya.
Aku pun tatap matanya. Sepertinya ia melihat sesuatu di mataku. Apakah
yang ia lihat?
“Gubrakkk.” Bunyi tumpukan buku berjatuhan ke lantai. Aku dan Graha pun terkejut.
“Astaghfirulloh,” ucapku seakan sadar dari lamunanku.
Kenapa ini terjadi? Kenapa kami saling berpandangan? Tidak sepantasnya kami melakukan itu. Itu benar-benar di luar kesadaranku.
“Graha,
hello?!!! Apa yang kamu lihat di mataku? Kelihatannya kamu begitu
serius menatapku tadi?!,” tanyaku saking penasaran diselimuti rasa malu.
Mukaku memerah ketika ia menatapku.
“Itu Syif, di matamu ada 2
buah pelangi yang menyelimutinya. Sungguh indah ku pandang. Sesungguhnya
itu adalah cermin dari sikapmu. Dan itu adalah keistimewaanmu dibanding
yang lainnya. Kamu masih begitu polos, dan aku sangat menyukai gadis
sepertimu. Janganlah kau anggap aku sebagai musuh pelajaranmu. Marilah
kita bersahabat layaknya sahabat,” jelasnya kagum padaku dan
perkataannya begitu menyentuh hatiku, mendamaikan kalbuku.
Baru kali ini aku dengar ada seseorang yang mengatakan aku punya
pelangi di mataku yang merupakan cermin sikapku yang begitu polos dan
itu adalah keistimewaanku. Oh.. Tuhan. Terimakasih karena Kau masih
menyayangiku. Kau berikan aku seorang teman yang bisa melihat Syifa yang
sesungguhnya. Ternyata, aku baru menyadarinya bahwa Graha adalah
titipan Tuhan untukku yang sepatutnya dijaga untuk menghiburku dikala
aku sedang sedih.
Kini, aku dan Graha menjadi sahabat
sejati yang tak terpisahkan. Kami saling mengerti satu sama lain.
Meskipun kadang, teman-teman sekelasku heran padaku. Biasanya jika ada
anak baru dan ia pandai, pasti aku langsung tak menyukainya dan langsung
belajar dengan giat. Tapi berbeda dengan yang satu ini. Entah apa yang
membuatku dan Graha bisa sedekat ini. Padahal ia anak pindahan yang baru
mengenalku beberapa minggu. Ia sudah bisa menguasai diriku. Kami pun
saling berbagi pengetahuan. Sampai-sampai kami terikat oleh cinta
abu-abu. Sungguh diluar dugaan. Wow...